BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Ilmu
Kalam merupakan salah satu ilmu yang mesti kita pelajari dari sekian banyak
ilmu-ilmu di dunia ini. Berbagai definisi telah banyak dikemukakan tokoh-tokoh
Islam mengenai ilmu ini. Begitu pula sebab-sebab penamaan serta berbagai nama
lain dari ilmu kalam. Namun dari sekian keterangan dapat disimpulkan bahwa ilmu
kalam merupakan ilmu yang mempelajari masalah ketuhanan dan segala sesuatu yang
berhubungan dengan-Nya yang dapat memeperkuat akan keyakinan terhadap-Nya dan
mampu memberikan hujjah dan argumentasi.
Karena berbagai faktor, terlahirlah berbagai aliran ilmu kalam
dalam Islam dengan pemikiran dan konsep masing-masing. Diantaranya adalah
Khawarij, Murjiah, Mu’tazilah, al-Qadariyah, Jabariyah, Al-Asyariyah dan
Al-Maturidiyah. Adapula pemikiran kontemporer yang merupakan campuran antara
pemikiran klasik dan modern yang disertai dengan pendekatan tokohnya yang akan
dibahas dalam makalah ini.
1.2 Rumusan
Masalah
Dari
judul yang telah diketahui yaitu pemikiran kontemporer dan pendekatan tokohnya,
tentu akan menimbulkan beberapa pertanyaan diantaranya sebagai berikut :
1.
Apa yang dimaksud dengan pemikiran kalam
kontemporer ?
2.
Siapa saja tokohnya ?
3.
Bagaimana sejarah perkembangannya ?
4.
Apa saja pendekatan pemikirannya ?
1.3 Tujuan
Makalah
Tujuan
dari makalah ini tiada lain adalah untuk memberikan jawaban serta penjelasan
dari setiap pertanyaan yang ada dalam rumusan masalah, yaitu :
1.
Untuk mengetahui apa itu pemikiran kalam
kontemporer.
2.
Untuk mengenal siapa saja tokohnya.
3.
Untuk mengetahui sejarah
perkembangannya.
4.
Untuk mengetahui pendekatan
pemikirannya.
1.4 Kegunaan
Makalah
Adapun kegunaan dari makalah ini adalah
untuk memenuhi salah satu tugas kelompok dari mata kuliah ILMU KALAM, juga
sebagai sarana pelatihan dalam mengembangkan sifat sosial dan keterampilan
dalam membuat suatu karya ilmiah.
BAB
II
PEMBAHASAN
PEMIKIRAN
KALAM ULAMA MODERN
(ABDUH,
AHMAD KHAN, DAN IQBAL)
Pemikiran
kalam kontemporer merupakan gabungan dari pemikiran pada masa klasik seperti
pemikiran yang dikemukakan berbagai golongan aliran seperti Khawarij, Jabariyah
dan sebagainya yang masih bisa dipakai sesuai perkembangan zaman yang berlaku
dengan pemikiran pada masa modern seperti pemikiran Syekh Muhammad Abduh,
Muhammad Iqbal, dsb. Gabungan pemikiran ini terlahir pada saat umat Islam dalam
masa kemunduran sehingga ketika pemikiran Syekh Muhammad abduh terpublikasi,
banyak orang yang tersadar akan monotonnya perkembangan pemikiran yang
memotivasi dan menimbulkan berbagai perubahan dalam cara pandang umat Islam.
`
`
A.
SYEKH MUHAMMAD ABDUH
1.
Riwayat Singkat Muhammad Abduh
Syekh Muhammad Abduh bernama lengkap Muhammad bin
Abduh bi Hasan Khairullah, dilahirkan di desa Mahallat Nashr kabupaten
Al-Buhairah, Mesir, pada tahun 1849 M. Saat itu kondisi tempat dilahirkannya
penuh kecemasaan, banyak penduduk yang berpindah-pindah dikarenakan kekerasan
penguasa-penguasa dalam memungut pajak. Walau bukan berasal dari keturunan
bangsawan, ayahnya dikenal sebagai orang terhormat yang suka memberi
pertolongan.
Saat kecil, ayahnya sempat mengirimnya ke mesjid
Al-Ahmadi Tantan yang kini menjadi pusat kebudayaan selain Al-Azhar. Namiun
karena system pengajarannya kurang disukainya, ia memilih untuk pulang kembali
ke desa dan bertani sampai akhirnya ia dikawinkah ayahnya pada saat berusia 16
tahun. Semula ia enggan untuk melanjutkan studinya, namun karena dorongan
pamannya, Syekh Darwish, ia kembali belajar dalam bimbingan pamannya sampai
lulus dan melanjutkan ke Universitas Al-Azhar. Dan disanalah ia dipertemukan
dengan Jamaluddin Al-Afghani yang merupakan guru serta motivator keaktifannya
dalam bidang politik dan ekonomi.
Setelah menyelesaikan studinya di Al-Azhar dengan
gelar “alim” ia mengajar di Al-Azhar, di Dar al-Ulum dan di rumahnya sendiri.
Ia juga sempat mengalami pengusiran karena dituduh ikut campur dalam mengadakan
gerakan perlawanan terhadap Khedewi Taufik dan pengasingan selama 3 tahun
karena dituduh terlibat dalam revolusi besar Urabi. Dalam pengasingannya,
selama satu tahun tinggal di Suriah, kemudian mengikuti gurunya, Syekh
Jamaluddin Al-Afghani ke Paris. Disanalah mereka menerbitkan surat kabar
Al-Urwah Al-Wutsqa, yang bertujuan mendirikan Pan-Islam menentang penjajahan
Barat ,khususnya Inggris. Tahun 1885 Abduh diutus oleh surat kabar tersebut ke
Inggris untuk menemui tokoh-tokoh Negara itu yang bersimpati kepada rakyat Mesir.
Tahun 1899, Abduh diangkat menjadi Mufti Mesir. Kedudukan tinggi itu
dipegangnya sampai ia meninngal dunia pada tahun 1905.
2.
Pemikiran-Pemikiran Muhammad Abduh
a.
Kedudukan Akal dan Fungsi Wahyu
Ada dua persoalan pokok
yang menjadi fokus utama pemikiran utama Abduh, sebagaimana diakuinya sendiri,
yaitu :
1.
Membebaskan akal pikiran dari
belenggu-belenggu taqlid yang meghambat perlkembangan pengetahuan agama
sebagaimana haknya salaf al-ummah (ulam sebelum abad ke-3 Hijriyah), sebelum
timbulnya perpecahan; yakni memehami langsung dari sumber pokoknya, Al-Qur’an.
2.
Memperbaiki gaya bahasa Arab, baik yang
digunakan dalam percakapan resmi di kantor-kantor pemerintah maupun dalam
tulisan-tulisan di media massa.
Atas
dasar kedua fokus fikirannya itu, Muhammad Abduh memberikan peranan yang sangat
besar kepada akal. Begitu besarnya peranan yang diberikan olehnya sehingga
Harun Nasution menyimpulkan bahwa Muhammad Abduh memberi kekuatan yang lebih
tinggi kepada akal daripada Mu’tazilah. Menurut Abduh, akal dapat mengetahui
hal-hal berikut ini :
1.
Tuhan dan sifat-sifat-Nya;
2.
Keberadaan hidup di akhirat;
3.
Kebahagiaan jiwa bergantung pada upaya
mengenal Tuhan dan berbuat baik, sedangkan kesengsaraannya bergantung pada
sikap tidak mengenal Tuhan dan melakukan perbuatan jahat;
4.
Kewajiban manusia mengenal Tuhan;
5.
Kewajiban manusia untuk berbuat baik dan
menjauhi perbuatan untuk kebahagiaan di
akhirat;
6.
Hukum-hukum mengenai kewajiban-kewajiban
itu.
b.
Kebebasan Manusia dan Fatalisme
Bagi Abduh, disamping
mempunyai daya fikir, manusia juga mempunyai kebebasan memilih, yang merupakan
sifat dasar alami yang ada dalam diri manusia. Kalau sifat dasar ini
dihilangkan dari dirinya, ia bukan
manusia lagi, tetapi makhluk lain. Manusia dengan akalnya mampu
mempertimbangkan akibat perbuatan yang dilakukannya, kemudian mengambil
keputusan dengan kemauannya sendiri, selamjutnya mewujudkan perbuatannya itu
dengan daya yang ada dalam dirinya.
Karena manusia menurut
hukum alam dan sunnatullah mempunyai kebebasan dalam menentukan kemauan dan
daya untuk mewujudkan kemauan, faham perbuatan yang dipaksakan manusia atau
Jabariyah tidak sejalan dengan pandangan hidup Muhammad Abduh. Manusia,
menurutnya, mempunyai kemampuan berfikir dan kebebasan dalam memilih, namun
tidak memiliki kebebasan absolute. Ia menyebut orang yang mengatakan manusia
mempunyai kebebasan mutlak sebagai orang yang angkuh.
c.
Sifat-Sifat Tuhan
Dalam Risalah, ia
menyebut sifat-sifat Tuhan. Adapun mengenai masalah apakah sifat itu termasuk
esensi Tuhan atau yang lain? Ia menjelaskan bahwa hal itu terletak di luar
kemampuan manusia. Sungguhpun demikian, Harun Nasution melihat bahwa Abduh
cenderung kepada pendapat bahwa sifat termasuk esensi Tuhan walaupun tidak
secara tegas mengatakannya.
d.
Kehendak Mutlak Tuhan
Karena yakin akan
kebebasan dan kemampuan manusia, Abduh melihat bahwa Tuhan tidak bersifat
mutlak. Tuhan telah membatasi kehendak mutlak-Nya dengan memberi kebebasan dan
kesanggupan kepada manusia dalam mewujudkan perbuatan-perbuatannya. Kehendak
mutlak Tuhan pun dibatasi oleh sunnatullah secara umum. Ia tidak mungkin
menyimpang dari sunnatullah yang telah ditetapkannya. Di dalamnya terkandung
arti bahwa Tuhan dengan kemauan-Nya sendiri telah membatasi kehendak-Nya dengan
sunnatullah yang diciptakan-Nya untuk mengatur ala mini.
e.
Keadilan Tuhan
Karena memberikan daya besar kepada akal dan
kebebasan manusia, Abduh mempunyai kecendrungan untuk memahami dan meninjau
alam ini bukan hanya dari segi kehendak mutlak Tuhan, tetapi juga dari segi
pandangan dan kepentingan manusia. Ia berpendapat bahwa alam ini diciptakan
untuk kepentingan manusia dan tidak satupun ciptaan Tuhan yang tidak membawa
manfaat bagi manusia. Adapun masalah keadilah Tuhan, ia memandangnya bukan
hanya dari segi kemahasempurnaan-Nya, tetapi juga dari pemikiran rasional
manusia. Sifat ketidakadilan tidak dapat
diberikan kepada Tuhan karena ketidakadilan tidak sejalan dengan kesempurnaan
aturan alam semesta.
f.
Antropomorfisme
Karena Tuhan termasuk
alam rohani, rasio tidak dapat menerima faham bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat
jasmani. Abduh, yang memberi kekuatan besar pada akal, berpendapat bahwa tidak
mungkin esensi-esensi dan sifat-sifat Tuhan mengambil bentuk tubuh atau roh
makhluk di alam ini. Kata-kata wajah, tangan, duduk dan sebagainya mesti
difahami sesuai dengan pengertian yang diberikan orang Arab kepadanya. Dengan
demikian, katanya, kata al-arsy
dalam Al-Qur’an berarti
kerajaan atau kekuasaan; kata al-kursy berarti pengetahuan.
g.
Melihat Tuhan
Muhammad Abduh tidak
menjelaskan pendapatnya apakah Tuhan yang besifat rohani itu dapat dilihat oleh
manusia dengan mata kepalanya di hari perhitungan kelak? Ia hanya menyebutkan
bahwa orang yang percaya pada tanzih (keyakinan bahwa tidak ada satu pun dari
makhluk yang menyerupai Tuhan) sepakat mengatakan bahwa Tuhan tak dapat digambarkan
ataupun dijelaskan dengan kata-kata. Kesanggupan melihat TUhan dianugerahkan
hanya kepada orang-orang tertentu di akhirat.
h.
Perbuatan Tuhan
Karena berpendapat
bahwa ada perbuatan Tuhan yang wajib, Abduh sefaham dengan Mu’tazilah dalam
mengatakan bahwa wajib bagi Tuhan untuk berbuat apa yang terbaik bagi manusia.
B.
SAYYID AHMAD KHAN
1.
Riwayat Singkat Ahmad Khan
Sayyid
Ahmad Khan lahir di Delhi pada tahun 1817. Menurut salah satu keterangan, ia
berasal dari keturunan Husein, cucu Nabi Muhammad saw. melalui Fatimah dan Ali.
Neneknya, sayyid Hadi, adalah pembesar istana pada zaman Alamghir
II(1754-1759). Sejak kecil, Ahmad Khan mendapat didikan tradisional dalam pengetahuan
agama. Dia belajar bahasa Arab dan juga bahasa Persia. Ia rajin membaca buku
dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan. Ketika berusia delapan belas tahun, ia
bekerja pada Serikat India Timur. Kemudian bekerja pula sebagai hakim, tetapi
pada tahun 1846 ia kembali ke Delhi dan mempergunakan kesempatan itu untuk
belajar.
Di
kota Delhi inilah ia dapat melihat langsung peningggalan-peninggalan kejayaan
Islam dan bergaul dengan tokoh-tokoh dan pemuka muslim, seperti Nawab Ahmad
Baksh, Nawab Mustafa Khan, Hakim Mahmud Khan, dan Nawab Aminuddin. Semasa di
Delhi, ia mulai mengarang. Karya pertamanya adalah Asar As-Sanadid. Pada tahun
1855, ia pindah ke Bijnore. Di tempat ini, ia tetap mengarang buku-buku penting
Islam di India. Pada tahun 1857 terjadi pemberontakan dan kekacauan politik di
Delhi yang menyebabkan timbulnya kekerasan terhadap orang India. Ketika melihat
keadaan rakyat Delhi, ia sempat berfikir untuk meninggalkan India menuju Mesir,
tetapi ia sadar bahwa ia harus memperjuangkan umat Islam india agar menjadi
maju. Ia berusaha mencegah terjadinya kekerasan dan banyak menolong orang
Inggris dari pembunuhan, hingga diberi gelar Sir, tetapi ia menolaknya.
Padatahun 1861 ia mendirikan sekolah Inggris di Muradabad. Hingga akhir
hayatnya ia selalu mementingkan pendidikan umat Islam India. Pada tahun 1878 ia
juga mendirikan sekolah Mohammedan Anglom Oriental college (MAOC) di Aligarh
yang merupakan karyanya yang paling bersejarah dan berpengaruh untuk memajukan
umat Islam India.
2.
Pemikiran Kalam Sayyid Ahmad Khan
Sayyid
Ahmad Khan mempunyai kesamaan pemikiran dengan Muhammad Abduh di Mesir –
setelah Abduh berpisah dengan Jamaluddin Al-Afghani dan kembali dari
pengasingan. Hal ini dapat dilihat dari beberapa ide yang dikemukakannya,
terutama tentang akal yang mendapat penghargaan tinggi dalam pandangannya.
Meskipun demikian, sebagai penganut ajaran Islam yang taat dan percaya akan
kebenaran wahyu, ia berpendapat akal bukanlah segalanya dan kekuatan akalpun
terbatas.
Keyakinan
kekuatan dan kebebasan akal menjadikan Khan percaya bahwa manusia bebas untuk
menentukan kehendak dan melakukan perbuatan. Ini berarti bahwa ia mempunyai
faham yang sama dengan faham Qadariyah. Menurutnya manusia telah dianugerahi
Tuhan berbagai macam daya, diantaranya adalah daya berfikir berupa akal, dan
daya fisik untuk merealisasikan kehendaknya. Karena kuatnya kepercayaan
terhadap hukum alam dan kerasnya mempertahankan konsep hukum alam, ia dianggap
kafir oleh sebagian umat Islam. Bahkan ketika datang ke India pada tahun 1869,
Jamaluddin Al-Afghani menerima keluhan itu. Sebagi tanggapan atas tuduhan
tersebut, Jamaluddin mengarang sebuah buku yang berjudul Ar-Radd Ad-Dahriyah
(Jawaban Bagi Kaum Materialis).
Sejalan
dengan faham Qadariyah yang di anutnya, ia menentang keras faham taklid. Khan
berpendapat bahwa Umat Islam India mundur karena mereka tidak mengikuti
perkembangan zaman. Gaung peradaban Islam klasik masih melenakan mereka
sehingga tidak menyadari bahwa peradaban baru telah timbul di Barat. Peradaban
baru ini timbul dengan berdasar pada ilmu pengetahuan dan teknologi, dan inilah
penyebab utama bagi kemajuan dan kekuatan orang Barat.
Selanjutnya,
Khan mengemukakan bahwa Tuhan telah menentukan tabiat atau nature (sunnatullah)
bagi setiap makhluk-Nya yang tetap dan tidak berubah. Menurutnya, Islam adalah
agama yang paling sesuai dengan hukum alam, karena hukum alam adalah ciptaan
Tuhan dan Al-Qur’an adalah firman-Nya maka sudah tentu keduanya seiring sejalan
dan tidak ada pertentangan.
Sejalan
dengan keyakinan tentang kekuatan akal dan hukum alam, Khan tidak mau
pemikirannya terganggu otoritas Hadits dan Fiqih. Segala sesuatu diukurnya
dengan kritik rasional. Ia pun menolak semua yang bertentangan dengan logika
dan hukum alam. Ia hanya mau mengambil Al-Qur’an sebagai pedoman bagi islam,
sedangkan yang lain hanya bersifat membantu dan kurang begitu penting. Alasan
penolakannya terhadap hadits adalah karena Hadits berisi moralitas sosial dari
masyarakat Islam pada abad pertama atau kedua sewaktu hadits tersebut
dikumpulkan. Sedangkan hukum Fiqh, menurutnya, berisi moralitas masyarakat
berikutnya sampai saat timbulnya madzhab-madzhab. Ia menolak taklid dan membawa
Al-Qur’an untuk menguraikan relevansinyadengan masyarakat baru pada zaman itu.
Sebagai
konsekuensi dari penolakannya terhadap taklid, Khan memandang perlu diadakannya
ijtihad-ijtihad baru untuk menyesuaikan pelaksanaan ajaran-ajaran Islam dengan
situasi dan kondisi masyarakat yang senantiasa mengalami perubahan.
C.
MUHAMMAD IQBAL
1.
Riwayat Hidup Muhammad Iqbal
Muhammad
Iqbal lahir di Sialkot pada tahun 1873. Ia berasal dari keluarga kasta brahmana
khasmir. Ayahnya bernama Nur Muhammad yang terkenal saleh. Guru pertama Iqbal
adalah ayahnya sendiri kemudian ia dimasukkan ke sebuah maktab untuk
mempelajari Al-Quran. Setelah itu dimasukkan ke Scottish mission school.
Dibawah bimbingan Amir Hasan, ia diberi pelajaran agama, bahasa arab, dan
bahasa Persia.
Pada
taun 1905 setelah mendapat gelar M.A di government college. Di sini ia bertemu
dengan Thomas Arnold, seorang orientalis yang menjadi guru besar di bidang
filsafat pada universitas tersebut. Setelah mendapat gelar tersebut ia pergi ke
inggris untuk belajar filsafat pada universitas Cambridge. Dua tahun kemudian
ia pindah ke Munich, Jerman. Di universitas ini, ia memperoleh gelar Ph.D dalam
tasawuf. Dengan desertasinya yang berjudul Perkembangan Metafisika di Persia.
Iqbal tinggal di Eropa
kurang lebih tiga tahun. Sekembalinya dari Munich, ia menjadi advokat dan juga
sebagai dosen. Pada tahun 1930, Iqbal memasuki bidang politik dan menjadi ketua
konfereni tahunan liga muslim di Allahabab, kemudian pada tahun 1931 dan tahun
1932, ia ikut dalam konferensi meja bundar di London yang membahas konstitusi
baru bagi india. Pada bulan Oktober tahun 1933, ia diundang ke Afganistan untuk
membicarakan pembentukan universitas Kabul. Pada tahun 1935, ia jatuh sakit dan
bertambah parah setelah istrinya meninggal dunia pada tahun itu pula, dan ia
meninggal pada tanggal 20 april 1935.
2.
Pemikiran Kalam Muhammad Iqbal
Dibandingkan
sebagai teolog, Muhammad Iqbal sesungguhnya lebih terkenal sebagai filosof
eksistensialis. Oleh karena itu, agak sulit untuk menemukan pandangannya
mengenai wacana-wacana kalam klasik, seperti fungsi akal dan wahyu, perbuatan
tuhan, perbuatan manusia, dan kewajiban-kewajiban tuhan. Itu bukan berarti
bahwa ia sama sekali tidak menyinggung beberapa aliran kalam yang pernah muncul
dalam sejarah islam.
Sebagai
seorang pembaharu, Iqbal menyadari perlunya umat Islam untuk melakukan
pembaharuan agar keluar dari kemundurannya. Kemunduran umat Islam, katanya,
disebabkan kebekuan umat Islam dalam pemikiran dan ditutupnya pintu ijtihad.
Mereka, seperti kaum konservatif, menolak kebiasaan berfikir rasional kaum Mu’tazilah
karena hal tersebut dianggapnya membawa disintegrasi umat Islam dan
membahayakan kesetabilan politik mereka. Hal inilah yang dianggapnya sebagai
penyimpangan dari semangat islam, semangat dinamis dan kreatif. Islam tidak
statis, tetapi dapat disesuaikan dengan perkembangan zaman. Pintu ijtihad tidak
pernah tertutup karena ijtihad merupakan ciri-ciri dari dinamika yang harus
dilambangkan dalam islam. Lebih jauh ia menegaskan bahwa syariat pada
prinsipnya tidak statis, tetapi merupakan alat untuk merespon kebutuhan
individu dan masyarakat karena islam selalu mendorong terwujudnya perkembangan.
Islam
dalam pandangan Iqbal menolak konsep lama yang mengatakan bahwa alam bersifat
statis. Islam, katanya, mempertahankan konsep dinamis dan mengikuti adanya gerak
perubahan dalam kehidupan sosial manusia. Oleh karena itu, manusia dengan
kemampuan khudi-nya harus menciptakan perubahan.
Besarnya penghargaan Iqbal
terhadap gerak perubahan ini membawa pemahaman yang dinamis tentang Al-Quran
dan hukum islam. Tujuan diturunkannya Al-Quran adalah membangkitkan kesadaran
manusia sehingga mampu menerjemahkan dan menjabarkan nas-nas Al-Quran yang
masih global dalam realita kehidupan dengan kemampuan nalar manusia dan
dinamika masyarakat yang selalu berubah. Inilah yang dalam rumusn fiqh disebut
ijtihad yang oleh iqbal disebutnya sebagai prinsip gerak dalam struktur islam.
Oleh
karena itu, untuk mengembalikan semangat dinamika islam dan membuang kekakuan
serta kemujudan hukum islam, ijtihad
harus dialihkan menjadi ijtihad kolektif . Menurut Iqbal, peralihan kekuasaan
ijtihad individu yang memiliki madzhab tetentu kepada lembaga legislative islam
adalah satunya bentuk yang paling tepat untuk menggerakkan spirit dalam sistim
hukum islam yang selama ini hilang dari umat Islam dan maenyerukan kepada kaum
muslimin agar mmenerima dan mengembangkan lebih lanjut hasil-hasil realisme
tersebut.
a.
Hakikat Teologi
Secara umum ia melihat
teologi sebagai ilmu yang berdimensi keimanan, mendasarkan pada esensi tauhid.
Di dalamnya terdapat jiwa yang bergerak berupa kesetiaan, kesetiakawanan dan
kebebasmerdekaan. Pandanganya tentang ontology teologi membuatnya berhasil
membuat anomaly (penyimpangan) yang melekat pada literature ilmu kalam klasik.
Teologi asy’ariyah, umpamanya, menggunakan cara dan pola piker ortodoksi islam.
Mu’tazilah sebaliknya, terlalu jauh bersandar pada kal, yang akibatnya mereka
tidak menyadari bahwa dalam wilayah pengetahuan agama, pemisahan antara
pemikiran keagamaan dari pengalaman konkrit merupakan kesalahan besar.
b.
Pembuktian Tuhan
Dalam membuktikan eksistensi
tuhan, Iqbal menolak argumen kosmologis maupun ontologis. Ia juga menolak
teleoligis yang berusaha membuktikan eksistensi tuhan yang mengatur
penciptaannya dari sebelah luar. Walaupun demikian ia menerima landasan
teologis yang imanen. Untuk menompang hal ini, Iqbal menolak pandangan tentang
matter serta menerima pandangan whitehead tentangnya sebagai struktur kejadian
dalam aliran dinamis yang tak berhenti. Karakter nyata konsep tersebut
ditemukan oleh Iqbal dalam jangka waktu murni-nya Bergson, yang tidak
terjangkau oleh serial waktu. Dalam jangka waktu murni, ada perubahan, tetapi
tidak ada suksesi(pergantian). Kesatuannya terdapat seperti kesatuan kuman yang
ada di dalamnya terdapat pengalaman-pengalaman nenek moyang para individu,
bukan sebagai suatu kumpulan, tetapi suatu kesatuan yang ada di dalamnya
mendorong setiap pengalaman untuk menyerap keseluruhannya.
c.
Jati Diri Manusia
Faham dinamisme Iqbal
berpengaruh besar terhadap jati diri manusia. Penelusuran terhadap pendapatnya
tentang persoalan ini dapat dilihat konsepnya tentang ego, ide sentral dalam
pemikiran filosofnya. Kata “itun” diartikan sebagai kepribadian. Manusia hidup
untuk mengetahui kepribadiannya seta menguatkan dan mengembangkan
bakat-bakatnya, bukan sebaliknya, yakni
melemahkan pribadinya, seperti yang dilakukan para sufi yang menundukan jiwa
sehingga fana dengan alla. Pada hakikatnya menafikan diri bukanlah ajaran islam
karena ajaran hidup adalah bergerak, dan gerak adalah perubahan. Filsafat
khudinya tampaknya merupakan reaksi terhadap kondisi umat Islam yang ketika itu
telah dibawa oleh kaum Sufi semakin jauh dari tujuan dan maksud islam yang
sebenarnya. Dengan ajaran khudinya ia mengemukakan pandangan yang dinamis
tentang kehidupan dunia.
d.
Dosa
Iqbal secara tegas mengatakan
dalam seluruh kuliahnya bahwa Al-Quran menampilkan ajaran tentang kebebasan ego
manusia yang bersifat kreatif. Dalam hubungan ini, ia mengembangkan cerita
tentang kejatuhan Adam (karena memakan buah terlarang) sebagai kisah yang
berisi pelajaran tentang kebangkitan manusia dari kon disi primitive yang
dikuasai hawa nafsu naluriah kepada pemilikan kepribadian bebas yang
diperolehnya secara sadar, sehingga mampu mengatasi kebimbangan dan
kecenderungan untuk membangkang dan timbulnya ego terbatas yang memiliki
kemampuan untuk memilih.
e.
Surga dan Neraka
Surga dan neraka, kata
Iqbal adalah keadaan, bukan tempat gambaran-gambaran tentang keduanya di dalam
Al-Quran adalah penampilan-penampilan kenyataan batin secara visual, dan
sifatnya. Neraka, menurut rumusan Al-Quran adalah api Allah yang menyala-nyala
dan yang membumbung ke atas hati, pernyataan yang menyakitkan mengenai
kegagalan manusia. Surga adalah kegembiraan karena mendapatkan kemenangan dalam
mengatasi berbagai dorongan yang menuju kepada perpecahan. Tidak ada kutukan
abadi dalam islam. Neraka, sebagaimana dijelaskan dalam Al-Quran, bukanlah
kawah tempat penyiksaan abadi yang disediakan tuhan.
ILMU KALAM MASA
KINI: ISMAIL FARUQI, HASAN HANAFI, RASYIDI DAN HARUN NASUTION.
A.
ISMAIL AL-FARUQI
1.
Riwayat Singkat Isamil Al-faruqi
Ismail Raji Al-Faruqi, lahir pada tanggal 1 januari
1921 di Jaffa Palestina. Pendidikan dasarnya
di mulai di madrasah, lalu pendidikan menengah di College des Freres St.
Joseph, dengan bahasa pengantar Perancis. Pada tahun 1941, Al-Faruqi mengambil
kuliah filsafat di American University,
Beirut. Setelah tamat dan meraih gelar Bachelor
of Arts. Ia kemudian bekerja sebagai pegawai negeri sipil pada pemerintahan
Inggris yang memegang mandate atas Palestina ketika saat itu selama empat
tahun. Karena kepemimpinannya menonjol, pada usia 24 tahun, ia diangkat menjadi
Gubernur Galilea.
Pada tahun
1948, Palestina dijarah Israel dan Faruqi, seperti warga Palestina lainnya,
terusir dari tanah kelahirannya. Ia tercatat sebagai Gubernur Galilea terakhir yang berdarah
Palestina. Setelah setahun menganggur, pada tahun berikutnya, 1949, Faruqi
hijrah ke AS untuk melanjutkan kuliahnya. Ia mendapat gelar Master Filsafat dari Universitas Indiana. Dua tahun kemudian,
gelar master filsafat kembali ia raih
dari Universitas Harvard.
Di Harvard inilah pengalaman mengajarinya, yakni
belajar tanpa dukungan finansial itu sulit. Biaya kuliah yang tinggi di AS
mengharuskannya untuk bekerja. Dengan uang US$1.000 (dari American Council of Learned Sociates hasil dari menerjemahkan dua
buku Bahasa Arab) ia memasuki bisnis konstruksi. Dengan menspesialisasikan diri
pada bangunan rumah, kesempatan untuk menjadi kaya semakin terbuka baginya.
Akan tetapi hasrat dan bakat bisnis itu ditepisnya.
Faruqi memilih kembali ke Universitas Indiana pada 1952 ia meraih gelar Ph.D
filsafat dengan desertasi berjudul On
Justifiying the God: Metaphysics and
Epistemology of Value.
Merasa kurang pengetahuannya mengenai Islam walaupun
sudah bergelar doctor Faruqi lalu pergi ke Mesir selama tiga tahun, ia
menyelesaikan pascasarjana di Al-Azhar. Karena kuat dorongan belajarnya itu
pulalah, Faruqi memenuhi undangan Wilfred C.Smith untuk bergabung dengan Institut of Islamic Studies di
Universitas McGill, Canada. Ia
disana selama dua tahun, yaitu pada
1959-1961. Selain mengajar, ia mempelajari etika yahudi dan Kristen.
Pada tahun 1964, Faruqi kembali ke AS. Pertama-tama
yang dia kerjakan adalah menjadi guru besar tamu pada Universitas Chicago dan Associate professor bidang agama pada Universitas Syracuse. Lalu pada tahun
1968 hingga wafatnya ia menjabat guru besar agama pada Universitas Temple.
Bersamaan itu juga ia menjabat sebagai professor studi keislaman pada Central Institute of Islamic Research,
Karachi.
2.
Pemikiran Kalam Al-Faruqi
Pemikiran Al-Faruqi tentang kalam dapat ditelusuri
melalui karyanya yang berjudul, Tahwid :
Its Implications for Thought and Life (Edisi Indonesianya berjudul Tuahid).
Sesuai dengan judulnya, buku ini mengupas hakikat tauhid secara mendalam.
Al-Faruqi menjelaskan hakikat tauhid sebagai berikut.
a.
Tauhid Sebagai Inti Pengalaman Agama
Inti pengalaman
agama,kata Al-Faruqi adalah Tuhan. Kalimat Syahadat menempati posisi sentral
dalam setiap kedudukan, tindakan, dan pemikiran setiap muslim. Kehadiran Tuhan
mengisi kesadaran muslim dalam setiap waktu. Bagi kaum muslimin, Tuhan
benar-benar merupakan obsesi yang agung. Esensi pengalaman agama dalam Islam
tidak lain adalah realisasi prinsip bahwa hidup dan kehidupan ini tidaklah
sia-sia.
b.
Tauhid Sebagai Pandangan Dunia
Tauhid merupakan
pandangan umum tentang realitas, kebenaran, dunia, ruang, dan waktu, sejarah
manusia, dan takdir.
c.
Tauhid Sebagai Intisari Islam
Dapat dipastikan bahwa
esensi peradaban Islam adalah Islam sendiri, dan esensi Islam adalah tauhid
atau pengesaan Tuhan. Tidak ada satu perintah pun dalam Islam yang dapat
dilepaskan dari tauhid. Tanpa tauhid Islam tidak akan ada. Tanpa tauhid, bukan
hanya sunnah nabi yang patut diragukan, bahkan pranata kenabian pun menjadi sirna.
d.
Tauhid Sebagai Prinsip Sejarah
Tauhid menempatkan
manusia pada suatu etika berbuat atau
bertindak, yaitu ketika keberhagaan manusia sebagai pelaku moral diukur dari
tingkat keberhasilan yang dicapainya dalam mengisi aliran ruang dan waktu.
Eskatologi Islam tidak mempunyai sejarah formatif. Ia terlahir lengkap dalam
Al-Quran, dan tidak mempunyai kaitan dengan situasi para pengikutnya pada masa
kelahirannya seperti halnya dalam agama Yahudi atau Kristen. Ia dipandang
sebagai suatu klimaks moral bagi kehidupan diatas bumi.
e.
Tauhid Sebagai Prinsip Pengetahuan
Berbeda dengan “iman”
Kristen, iman Islam adalah kebenaran yang diberikan kepada pikiran, bukan
kepada perasaan manusia yang mudah mempercayai apa saja. Kebenaran, atau
proposisi iman bukanlah misteri, hal yang sulit dipahami dan tidak dapat
diketahui dan tidak masuk akal, melainkan bersifat kritis dan rasional.
Kebenaran-kebenarannya telah dihadapkan pada ujian keraguan dan lulus dalam
keadaan utuh dan ditetapkan sebagai kebenaran.
f.
Tauhid Sebagai Prinsip Metafisika
Dalam Islam, Islam
adalah ciptaan dan anugerah. Sebagai ciptaan, ia bersifat teologis, sempurna,
dan teratur. Sebagai anugerah ia merupakan kebaikan yang tak mengandung dosa
yang disediakan untuk manusia. Tujuannya adalah memungkinkan manusia melakukan
kebaikan dan mencapai kebahagiaan. Tiga penilaian ini, keteraturan, bertujuan,
dan kebaikan, menjadi ciri dan meringkas pandangan umat Islam tentang alam.
g.
Tauhid Sebagai Prinsip Etika
Tauhid menegaskan bahwa
Tuhan telah memberi amanat-Nya kepada manusia, suatu amanat yang tidak mampu
dipikul oleh langit dan bumi, amanat yang mereka hindari dengan penuh
ketakutan. Amanat atau kepercayaan Ilahi tersebut berupa pemenuhan unsure etika
dari kehendak Ilahi, yang sifatnya mensyaratkan bahwa ia harus direalisasikan
dengan kemerdekaan, dan manusia adalah satu-satunya makhluk yang mampu
melaksanakannya. Dalam Islam, etika tidak dpat dipisahkan dari agama dan bahkan
dibangun di atasnya.
h.
Tauhid Sebagai Prinsip Ummah
Al-Faruqi menjelaskan
tentang prinsip ummah tauhidi dengan tiga identitas: pertama, menentng etnosentrisme.
Maksudnya, tata sosial Islam adalah Universal, mencakup seluruh umat manusia
tanpa kecuali, tidak hanya untuk segelintir etnis. Kedua Universalisme.
Maksudnya Islam bersifat universal dalam arti meliputi seluruh umat
manusia.cita-cita komunitas universal adalah cita-cita Islam yang diungkapkan
dalam ummah dunia. Ketiga, Totalisme. Maksudnya, Islam relevan dengan setiap
bidang kegiatan hidup manusia. Totalisme sosial Islam tidak hanya menyangkut
aktivitas manusia dan tujuannya di masa mereka saja, tetapi mencakup seluruh
aktivitas di setiap masa dan tempat. Keempat, kemerdekaan. Maksudnya, tata sosial
Islam adalah kemerdekaan. Jika dibangun dengan kekerasan atau dengan memaksa
rakyat, Islam akan kehilangan sifatnya
yang khas.
i.
Islam Sebagai Prinsip Tata Sosial
Dalam Islam, tidak ada
perbedaan antara manusia satu dan lainnya. Masyarakat Islam adalah masyarakat
terbuka dan setiap manusia boleh bergabung dengannya, baik sebagai anggota
tetap atapun sebagai yang dilindungi (dzimmah). Masyarakat Islam harus berusaha
mengembangkan dirinya untuk mencakup seluruh umat manusia. Jika tidak, ia akan
kehilangan klaim keislamannya. Selanjutnya, ia mungkin akan terus hidup sebagai
komunitas Islam yang lain, atau oleh komunitas non-islam.
j.
Tauhid Sebagai Prinsip Keluarga
Al-Faruqi memandang
bahwa selama tetap melestarikan identitas mereka dari gerogotan komunisme dan
ideology-ideologi barat, umat Islam akan menjadi masyarakat yang selamat dan
tetap menempati kedudukannya yang terhormat. Keluarga Islam memiliki peluang
lebih besar untuk tetap lestari sebab ditopang oleh hukum Islam dan
dideterminasi oleh hubungan erat dengan tauhid.
k.
Tauhid Sebagai Prinsip Tata Politik
Al-Faruqi mengaitkan
tata politik tauhidi dengan kekhalifahan. Kekhalifahan didefinisikan sebagai
kesepakatan tiga dimensi, yakni kesepakatan wawasan (ijma ar-ru’yah), kehendak
(ijma al-iradah) dan tindakan( ijma al-amal). Wawasan yang dimaksuf Al-Faruqi
adalah pengetahuan akan nilai-nilai yang membentuk kehendak Ilahi. Kehendak
yang dimaksud Al-Faruqi juga apa yang disebutnya ashabiyyah, yakni kepedulian
kaum muslimin menanggapi peristiwa-peristiwa dan situasi dengan satu cara yang sama, dalam
kepatuhan yang padu terhadap seruan Tuhan. Adapun yang dimaksud dengan tindakan
adalah pelaksanaan kewajiban yang timbul dari kesepakatan.
l.
Tauhid Sebagai Prinsip Tata Ekonomi
Al-Faruqi melihat bahwa
premis mayor implikasi Islam untuk tata ekonomi melahirkan dua prinsip utama: pertama,
bahwa tak ada seorang atau kelompok pun boleh memeras yang lain. Kedua, tak
satu kelompok pun boleh mengasingkan atau memisahkan diri dari umat manusia
lainnya dengan tujuan untuk membatasi ekonomi mereka pada diri mereka sendiri.
m.
Tauhid sebagai prinsip estetika
Tauhid tidak menentang
kreativitas seni; juga tidak menentang kenikmatan dan keindahan. Sebaliknya,
Islam memberkati keindahan islam menganggap bahwa keindahan mutlak hanya ada
dalam diri Tuhan dan dalam kehendak-Nya yang diwahyukan dalam
firman-firman-Nya.
B.
HASAN HANAFI
1.
Riwayar Singkat Hidup Hasan Hanafi
Hanafi dilahirkan pada tanggal 13 Februari 1935 di
Kairo. Ia berasal dari keluarga musisi. Pendidikannya diawali pada tahun 1948
dengan menamatkan pendidikan tingkat dasar, dan melanjutkan studinya di
Madrasah Tsanawiyah Khalil Agha, kairo yang diselesaikannya selama empat tahun.
Semasa di Tsanawiyah, ia aktif mengikuti dislusi kelompok Ikhwan Al-Muslimin.
Oleh karena itu, sejak kecil ia telah mengetahui pemikiran yang dikembangkan
kelompok itu dan aktivitas sosialnya. Hanafi tertarik juga untuk mempelajari
pemikiran Sayyid Qutb tentang keadilan
dalam Islam. Ia berkonsentrasi untuk mendalami pemikiran agama, revolusi, dan
perubahan social.
Dari sekian banyak tulisan atau karya Hanafi, Kiri
Islam (Al-Yasar Al-Islami) merupakan salah satu puncak sublimasi pemikirannya
semenjak revolusi 1952. Kiri Islam, meskipun baru memuat tema-tema pokok dari
proyek besar Hanafi, karya ini telah memformulasikan satu kecenderungan
pemikiran yang ideal tentang bagaimana seharusnya sumbangan agama bagi
kesejahteraan umat manusia.
2.
Pemikiran Kalam Hasan Hanafi
a.
Kritik Terhadap Teologi Tradisional
Dalam gagasannya
tentang rekonstruksi teologi tradisional, Hanafi menegaskan perlunya mengubah
orientasi perangkat konseptual sistem kepercayaan (teologi) sesuai dengan
perubahan konteks politik yang terjadi. Teologi tradisional, kata Hanafi, lahir
dalam konteks sejarah ketika inti keislaman sistem kepercayaan, yakni
transedensi Tuhan, diserang oleh wakil dari sekte dan budaya lama. Teologi itu
dimaksudkan untuk mempertahankan doktrin utama dan memelihara kemurniannya.
Sementara itu, konteks sosial-politik sekarang sudah berubah. Islam mengalami
berbagai kekalahan di berbagai medan pertempuran sepanjang periode
klonialisasi. Oleh karena itu, kerangka konseptual yang baru berasal dari
kebudayaan klasik, harus diubah menjadi kerangka konseptual baru yang berasal
dari kebudayaan modern.
Selanjutnya Hanafi
memandang bahwa teologi bukanlah pemikiran murni yang hadir dalam kehampaan
kesejarahan, melainkan merefleksikan konflik-konflik social politik. Oleh
karena itu, kritik teologi memang merupakan tindakan yang sah dan dibenarkan.
Sebagai produk pemikiran manusia, teologi terbuka untuk kritik. Menurut Hanafi,
teologi sesungguhnya bukan ilmu tentang Tuhan, yang secara etimologis berasal
dari kata Theos dan Logos, melainkan ilmu tentang kata (ilm al-kalam).
Teologi demikian,
lanjut Hanafi, bukanlah ilmu tentang Tuhan, karena Tuhan tidak tunduk kepada
ilmu. Tuhan mengungkapkan diri dalam sabda-Nya yang berupa wahtu. Ilmu kata
adalah tafsir yaitu ilmu hermeneutic yang mempelajari analisis percakapan
(discourse analysis), bukan saja dari segi bentuk-bentuk murni ucapan,
melainkan juga dari segi konteksnya, yakni pengertian yang merujuk kepada dunia.
Adapun wahyu sebagai manifestasi kemauan Tuhan, yakni sabda yang dikirim kepada
manusia mempunyai muatan-muatan kemanusiaan.
Hanafi ingin meletakkan
teologi Islam tradisional pada tempat yang sebenarnya yakni bukan pada ilmu
ketuhanan yang suci, yang tidak boleh dipersoalkan lagi dan harus diterima
begitu saja secara taken of granted. Ia adalah ilmu kemanusiaan yang tetap
terbuka untuk diadakan verifikasi dan falsifikasi, baik secara historis mapun
eidetis.
Secara praxis, Hanafi
juga menunjukkan bahwa teologi tradisional tidak dapat menjadi sebuah
“pandangan yang benar-benar hidup” dan memberi motivasi tindakan dalam
kehidupan konkrit umat manusia. Secara praxis, teologi tradisional gagal
menjadi semacam ideology yang sungguh-sungguh fungsional bagi kehidupan nyata
masyarakat muslim. Kegagalan para teolog tradisional disebabkan oleh sikap para
penyusun teologi yang tidak mengaitkannya dengan kesadaran murni dan
nilai-nilai perbuatan manusia. Akibatnya, muncul keterpecahan antara keimanan
teoritik dengan amal praktisnya dengan kalangan umat. Ia menyatakan, baik
secara individual maupun social, umat ini dilanda keterceraiberaikan dan
terkoyak-koyak. Secara individual, pemikiran manusia terputus dengan kesadaran,
perkataan maupun perbuatannya. Keadaan itu akan mudah melahirkan sikap-sikap
moral ganda (an-nifaq hypocrisy) atau sinkretisme kepribadian (muzawij:
assyahszyyali). Fenomena sinkretis ini tampak dalam kehidupan umat islam saat
ini: sinkretisme antara kultur keagamaan dan sekularisme (dalam kebudayaan),
antara tradisional dan modern (peradaban), antara Timur dan Barat (politik),
antara konservatisme dan progresivisme (sosial) dan antara kapitalisme dan
sosialisme (ekonomi).
Secara historis,
teologi telah menyingkap adanya benturan berbagai kepentingan dan ia sarat
dengan konflik sosial-politik. Teologi telah gagal pada dua tingkat: pertama,
pada tingkat teoritis, yaitu gagal mendapat pembuktian ilmiah dan filosofis,
dan kedua, pada tingkat praxis, yaitu gagal karena hanya menciptakan apatisme
dan negativisme.
b.
Rekonstruksi Teologi
Melihat sisi-sisi
kelemahan teologi tradisional, Hanafi lalu mengajukan saran rekonstruksi
teologi. Menurutnya, adalah mungkin untuk memfungsikan teologi menjadi
ilmu-ilmu yang bermanfaat bagi masa kini, yaitu dengan melakukan rekonstruksi
dan revisi, serta membangun kembali epistemilogi lama yang rancu dan palsu
menuju epistimologi baru yang shahih dan signifikan. Tujuan rekonstruksi
teologi Hanafi adalah menjadikan teologi tidak sekedar dogma-dogma keagamaan
yang kosong, melainkan menjelma sebagai ilmu tentang pejuang sosial, yang
menjadikan keimanan-keimanan tradisional memiliki fungsi secara aktual sebagai
landasan etik dan motivasi manusia.
Sistem kepercayaan
sesungguhnya mengekspresikan bangunan sosial tertentu. Sistem kepercayaan
menjadikan gerakan sosial sebagai gerakan bagi kepentingan mayoritas yang diam
( al-aglabiyah assfimitah: the majority) sehingga sistem kepercayaan memiliki
fungsi visi. Karena memiliki fungsi revolusi, tujuan final rekonstruksi teologi
tradisional adalah revolusi sosial. Menilai revolusi dengan agama di masa
sekarang sama halnya dengan mengaitkan filsafat dengan syariat di masa lalu,
ketika filsafat menjadi tuntutan zaman saat itu.
Langkah melakukan
rekonstruksi teologi sekurang-kurangnya dilatarbelakangi oleh tiga hal berikut
·
Pertama,
kebutuhan akan adanya sebuah ideology yang jelas di tengah-tengah pertarungan
global antara berbagai ideology.
·
Kedua,
pentingnya teologi baru ini bukan semata pada sisi teoritisnya, melainkan juga
terletak pada kepentingan praktis untuk secara nyata mewujudkan ideology
sebagai gerakan dalam sejarah. Salah satu kepentingan teologi ini adalah
memecahkan problem pendudukan tanah di Negara-negara muslim.
·
Ketiga,
kepentingan teologi yang bersifat praktis (amaliyah fi’liyah) yaitu secara
nyata diwujudkan dalam realitas melalui realisasi tauhid dalam dunia Islam.
Hanafi menghendaki adanya “teologi dunia” yaitu teologi baru yang dapat
mempersatukan umat Islam di bawah satu orde.
Menurut Hanafi, rekonstruksi teologi merupakan salah
satu cara yang mesti ditempuh jika mengharapkan agar teologi dapat memberikan
sumbangan yang konkrit bagi sejarah kemanusiaan. Kepentingan rekonstruksi itu
pertama-tama untuk mentransformasikan teologi menuju antropologi, menjadikan
teologi sebagai wacana tentang kemanusiaan, baik secara eksistensial, kognitif, maupun
kesejarahan.
Selanjutnya Hanafi menawarkan dua hal untuk
memperoleh kesempurnaan teori ilmu dalam teologi Islam, yaitu:
·
Pertama,
analisis bahasa. Bahasa serta istilah-istilah dalam teologi tradisional adalah
warisan nenek moyang di bidang teologi, yang merupakan bahasa khas yang
seolah-olah menjadi ketentuan sejak dulu. Teologi tradisional memiliki
istilah-istilah khas seperti Allah¸ iman¸ akhirat. Menurut Hanafi, semuanya ini
sebenarnya menyingkapkan sifat-sifat dan metode keilmuan, ada yang empirik-rasional
seperti iman, amal, dan imamah, dan ada yang historis seperti nubuwah serta ada
pula yang metafisik seperti Allah dan akhirat.
·
Kedua,
analisis
realitas. Analisis ini dilakukan untuk mengetahui latar belakang
historis-sosiologis munculnya teologi di masa lalu, mendeskripsikan
pengaruh-pengaruh nyata teologi bagi kehidupan masyarakat, dan bagaimana ia
mempunyai kekuatan mengarahkan terhadap perilaku para pendukungnya. Analisis
realitas ini berguna untuk menentukan stressing
ke arah mana teologi kontemporer harus diorientasikan.
C. H. M RASYIDI
1.
Sekilas Tentang H. M Rasyidi
Dalam konteks pertumbuhan kajian akademik Islam di Indonesia,
orang akan sulit mengesampingkan H. M Rasyidi, lembaga lulusan pendidikan Islam
di Mesir yang melanjutkan ke Paris, dan kemudian memperoleh pengalam mengajar
di Kanada. Ia adalah orang Indonesia memperoleh tidak hanya perkenalan, tetapi
juga penyerapan ramuan-ramuan intelektual dari gudang oreantalis. Dialah yang
berpengaruh dalam usaha pengiriman para lulusan IAIN atau sarjana lain ke Montreal sehingga
banyak orang yang benar-benar berterima
kasih padanya.
2.
Pemikiran Kalam H. M Rasyidi
Pemikiran kalam rasyidi dapat ditelusuri dari
kritikan-kritikan yang dialamatkan kepada Harun Nasution dan Nurcolis Madjid.
Secara garis besar pemikiran kalamnya dapat dikemukaan sebagai berikut:
a.
Tentang Perbedan Ilmu Kalam dan Teologi
Rasyidi berkata,” ada
kesan bahwa ilmu kalam adalah teologi Islam dan teologi adalah ilmu kalam
Kristen, selanjutnya Rasyidi menelusuri sejarah kemunculan teologi. Menurutnya,
orang barat memakai istilah teologi untuk menunjukan tauhid atau kalam karena
mereka tidak memiliki istilah lain. Teologi terdiri dari dua perkataan, yaitu
teo(theos) artinya tuhan, dan logos, artinya ilmu. Jadi teologi adalah ilmu
ketuhanan. Adapun timbulnya teologi dalam kristen ketuhanan nabi Isa, sebagai
salah satu tri-tunggal atau trinitas. Namun,kata teologi mengandung beberapa
aspek agama Kristen, yang diluar kepercayaan (yang benar),sehingga teologi
Kristen tidak sama dengan tauhid atau ilmu kalam.
b.
Tema-Tema Ilmu Kalam
Salah satu ilmu kalam
Harun Nasution yang dikritik Rasyidi adalah deskripsi aliran-aliran kalam yang
sudah tidak relevan lagi dengan kondisi umat Islam sekarang, khususnya di
Indonesia. untuk itu, Rasyidi berpendapat bahwa menonjolkan perbedaan antara
Asy’ariyah dan Mu’tazilah akan melemahkan iman para mahasiswa. Memang tidak ada
agama yang mengagungkan akal seperti Islam,
tetapi dengan menggambarkan akal dapat mengetahui baik dan buruk, sedangkan
wahyu hanya membuat nilai yang dihasilkan pikiran manusia bersifat
absolut-universal.berarti meremehkan ayat-ayat Al-Quran seperti, wallahu ya’lamu
wa antumla ta’lamun(dan Allah lah yang maha mengetahui, sedangkan kamu tidak
mengetahui),” Q.S. Al-baqarah[2]:232.
Rasyidi menegaskan pada saat ini, di barat sudah dirasakn bahwa akal
tidak mampu mengetahui baik dan buruk. Buktinya kemunculan eksistensialisme
sebagai reaksi terhadap aliran rasionallisme.
Rasyidi mengakui bahwa
soal-soal yang pernah diperbincangkan pada dua belas abad yang lalu, masih ada
yang relevan untuk masa sekarang, tetapi ada juga yang sudah tidak relevan
untuk masa sekarang. Yang masih dirasakn pada umat Islam pada umumnya adalah
keberadaan Syi’ah.
c.
Hakikat Iman
Rasyidi menyatakan
bahwa,”iman bukan sekedar menuju bersatunya manusia dengan tuhan, tetapi dapat
dilihat dari dimensi konsekuensial atau hubungan manusia dengan manusia, yakni
hidup dalam masyarakat. Perlu dijelaskan disini bahwa bersatunya seseorang
dengan tuhan tidak merupakan aspek yang mudah untuk tercapai, mungkin seorang
saja dari sejuta orang. Jadi, yang penting dari aspek penyatuan itu adalah
keprcayaan, ibadah, dan kemasyarakatan.
D. HARUN NASUTION
1.
Riwat Hidup Harun Nasution
Harun Nasution lahir pada hari selasa 23
september 1919 di Sumatera. Ayahnya,
Abdul Jabar Ahmad, adalah seorang ulama yang mengetahui kitab-kitab Jawi.
Pendidikan formalnya dimulai di sekolah HIS. Setelah tujuh tahun di HIS, ia
meneruskan ke MIK (modern islamietische kweekschool) di Bukittinggi pada tahun 1934. Pendidikannya lalu diteruskan di
Universitas Al-Azhar, Mesir. Sambil kuliah di Al-Azhar, ia kuliah pula di
Universitas Amerika di Mesir. Pendidikannya lalu di lanjutkan di Mc. Gill,
Kanada, pada tahun 1962.
Harun Nasution adalah figur sentral dalam semacam
jaringan intelektual yang terbentuk dikawasan IAIN Ciputat sejak paruh kedua
dasarwasra 70-an. Sentralitas Harun Nasution didalam jaringan itu tentu saja
banyak ditopang oleh kapasitas intelektualnya, dan kemudian oleh kedudukan
formalnya sebagai rektor sekaligus salah seorang pengajar di IAIN. Dalam
kapasitas akhir ini, ia memegang beberapa mata kuliah terutama menyangkut
sejarah perkembangan pemikiran yang terbukti menjadi salah satu sarana awal
menuju pembentukan jaringan anatara Harun Nasution dan mahasiswa-mahasiswanya.
2.
Pemikiran Kalam Harun Nasution
a.
Peranan Akal
Besar
kecilnya peranan akal dalam sistem teologi dalam suatu aliran sangat menentukan
dinamis tidaknya pemaham seorang tentang ajaran Islam. Berkenaan dengan akal
ini Harun Nasution menulis demikian,” Akal melambangkan kekuatan manusia.
Karena akallah manusia mempunyai kesanggupan untuk menaklukan kekuatan makhluk
lain disekitarnya. Bertambah tinggi akal manusia, bertambah tinggilah
kesanggupannya untuk mengalahkan makhluk lain. Bertambah lemah akal manusia
bertambah rendah pulalah kesanggupan menghadapi kekuatan-kekuatan yang lain.
Tema
Islam agama rasional dan dinamis sangat kuat bergema dalam tulisan-tulisan
Harun Nasution , terutama dalam buku akal dan wahyu dalam Islam, Teologi Islam:
Alir an-aliran, Sejarah, Analisis Perbandingan, dan Muhammad Abduh dan Teologi
rasional Muhammad Abduh.
Dalam
ajaran Islam, akal mempunyai kedudukan yang tinggi dan banyak dipakai, bukan
dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan kebudayan saja, tetapi juga dalam
perkembangan ajaran-ajaran keagamaan Islam sendiri. Pemakain akal dalam Islam
diperintahkan Al-Quran sendiri. Bukanlah tidak ada dasarnya kalau ada penulis-penulis,
baik dikalangan Islam sendiri maupun dikalangan non Islam, yang berpendapat
bahwa Islam adalah agama rasional.
b.
Pembaharuan Teologi
Pembahruan
teologi, yang menjadi predikat Harun Nasution, pada dasarnya dibangun diatas
asumsi bahwa keterbelakangan dan kemunduran umat Islam indonesia (juga di mana
saja) adalah disebabkan “ada yang salah” dalam teologi mereka. Retorika ini mengandung
pengertian bahwa umat Islam dengan teologi fatalistik, irasional,
pre-determinisme serta penyerahan nasib telah membawa nasib mereka menuju
kesengsaraan dan keterbelakangan. Dengan demikian, jika hendak mengubah nasib
umat islam, menurut Harun Nasution, umat islam hendaknya mengubah teologi
mereka menuju teologi yang berwatak free-will, rasional, serta mandiri. Tidak
heran jika teori modernisasi ini selanjutnya menemukan teologi dalam khasanah
Islam klasik sendiri yakni teologi Mu’tazilah.
c.
Hubungan Akal dan Wahyu
Salah satu fokus
pemikiran Harun Nasution hubungan antara akal dan wahyu. Ia menjelaskan bahwa
hubungan akal dan wahyu memang menimbulkan pertanyan, tetapi keduanya tidak
menimbulkan pertentangan. Akal mempunyai kedudukan yang tinggi dalam Al-Quran.
Orang yang beriman tidak perlu menerima bahwa wahyu sudah mengandung
segala-galanya. Wahyu bahkan tidak menjelaskan semua permasalahan keagamaan.
Dalam pemikiran islam, baik di
bidang filsafat dan ilmu kalam, apalagi di bidang ilmu fiqih, akal tidak pernah
membatalkan wahyu. Akal tetap tunduk pada teks wahyu. Teks wahyu tetap dianggap
benar. Akal dipakai untuk memahami teks wahyu dan tidak untuk menentang wahyu.
Akal hanya untuk memberi interpretasi terhadap teks wahyu sesuai kecenderungan
dan kesanggupan pemberi interpretasi. Yang menjadi pertentangan dalam sejarah
pemikiran islam sebenarnya bukan akal dan wahyu, tetapi penafsiran tertentu
dari teks wahyu dengan penafsiran lain dari teks wahyu juga. Jadi, yang
bertentangan sebenarnya dalam islam adalah pendapat akal ulama tertentu dengan
pendapat akal ulama lain.
BAB
III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Pemikiran
kalam kontemporer merupakan gabungan dari pemikiran klasik yang masih relevansi
dan sesuai dengan perkembangan zaman dengan pemikiran modern yang baru
dikemukakan oleh para tokoh-tokoh guna memberikan kontribusi bagi kemajuan umat
Islam yang semakin lemah dan kurang termotivasioleh karena kemudnduran yang
dialami umat Islam.
Adapun
tokoh-tokoh serta pendekatannya adalah sebagai berikut :
a.
Syekh Muhammad Abduh
¯ Pendekatan
tokoh dan fungsi wahyu
¯ Kebebasan
manusia dan fatalisme
¯ Sifat-sifat
Tuhan
¯ Kehendak
mutlak Tuhan
¯ Keadilan
Tuhan
¯ Antropomorfisme
¯ Melihat
Tuhan
¯ Perbuatan
Tuhan
b.
Sayyid Ahmad khan
Akal
bukanlah segalanya dan kekuatan akal pun terbatas, dsb.
c.
Muhammad Iqbal
¯ Hakikat
Teologi
¯ Pembuktian
Tuhan
¯ Jati
diri manusia
¯ Dosa
¯ Surga
dan neraka
d.
Ismail Al-Faruqi
¯ Tauhid
sebagai inti pengalaman agama
¯ Tauhid
sebagai pandangan dunia
¯ Tauhid
sebagai intisari islam
¯ Tauhid
sebagai prinsip sejarah
¯ Tauhid
sebagai prinsip pengetahuan
¯ Tauhid
sebagai prinsip metafisika
¯ Tauhid
sebagi prinsip etika
¯ Tauhid
sebagai prinsip ummah
¯ Tauhid
sebagai prinsip tata sosial
¯ Tauhid
sebagi prinsip keluarga
¯ Tauhid
sebagai tata politik
¯ Tauhid
sebagai tata ekonomi
¯ Tauhid
sebagai prinsip estetika
e.
Hasan Hanafi
¯ Kritik
terhadap teologi tradisional
¯ Rekontruksi
Teologi
f.
H. M Rasyidi
¯ Tentang
perbedaan ilmu kalam dan teologi
¯ Tema-tema
ilmu kalam
¯ Hakikat
iman
g.
Harun Nasution
¯ Peranan
akal
¯ Pembaharuan
Teologi
¯ Hubungan
akal dengan wahyu
3.2
Kritik dan Saran
Dengan segala kekurangan yang ada
dalam penyusunan dan penjelasan dalam makalah ini, hati dan tangan senantiasa
terbuka untuk menerima kritik dan saran.
Semoga
kita bisa mengambil manfaat serta mampu mengamalkan apa yang telah kita dapat
dari makalah ini. Dan semoga Allah senantiasa membimbing dan meridhoi setiap
gerak langkah kita. Aamiin.
terimakasih makalahnya, banyak membantu..
BalasHapuskok tidak ada daftar pustakanya???
BalasHapussaran: dikasih daftar pustaka biar tambah mantab
BalasHapusDaftar pustaka nya min..
BalasHapus